Oleh: Marzuki, SH
Staf Bidang Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kendati keberadaan dan fungsi Advokat sudah berkembang sebagaimana dikemukakan, peraturan perundang-undangan yang mengatur institusi Advokat sampai saat dibentuknya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat masih berdasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial, seperti ditemukan dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 : 23 jo. Stb. 1848 : 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya kemudian, Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 : 8), Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 : 446 jo. Stb. 1922 : 523), dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 : 522).
Untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, serta sekaligus untuk memberi landasan yang kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat, maka dibentuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. (Penjelasan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat).
Setelah Undang-undang ini berjalan ± 10 tahun ada keingian dari beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berlatar belakang profesi Advokat untuk mengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, karena dianggap Undang-undang ini sudah tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang, sehingga muncul keinginan mengantinya. Menurut H. Harry Witjaksono, SH yang menjadi dasar pertimbangan Rancangan Undang-Undang ini dibuat antara lain pertama pemenuhan profesi advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan, kedua selain itu untuk menjamin dan melindungi upaya penegakan supermasi hukum profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya dan ketiga perlunya pendidikan profesi advokat yang lebih berkualitas serta adanya pengawasan terhadap organisasi advokat. (2014: 1)
Salah satu yang menjadi perdebatan yang sangat penting di Rancangan Undang-Undang Advokat adalah masalah organisasi profesi advokat, dimana organisasi profesi advokat di Indonesia menganut Sistem Single Bar (tunggal) hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 28 Ayat (1) yang menyatakan bahwa Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. permasalahan timbul ketika dua tahun setelah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan terbentuk beberapa Organisasi Advokat seperti PERADI, KAI dan PERADIN yang masing – masing menyatakan diri sebagai Organisasi Advokat yang sah.
Selanjutnya pada tahun 2006 H. Sudjono, S.H, dkk mengajukan uji materi (Judicial Review )terhadap Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ke Makamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan dengan Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3), dan Pasal 28E Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun Makamah Konstitusi dalam Amar Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006 menyatakan "Permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya" artinya putusan Makamah Konstitusi menguatkan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menjelaskan organisasi profesi advokat di Indonesia menganut Sistem Single Bar (tunggal).
Makamah Agung RI juga pernah menerbitkan Surat Ketua Makamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 tanggal 01 Mei 2009 yang isinya memerintahkan semua Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk sementara waktu tidak mengambil sumpah Advokat baru yang dimintakan penyumpahannya kepada Pengadilan Tinggi selama penyelesaian masalah pembentukan organisasi Advokat sebagai wadah tunggal para advokat di Indonesia belum diselesaikan oleh Para Advokat karena akan melanggar ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan terhadap Adokat yang telah diambil sumpahnya di sidang Pengadilan Tinggi sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat sebelum adanya Surat Ketua Makamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 tanggal 01 Mei 2009 tidak bisa dihalangi untuk beracara di pengadilan terlepas dari organisasi manapun Advokat Tersebut berasal.
Sebagai akibat diterbitkannya Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 Tanggal 01 Mei 2009 tersebut menyebabkan Advokat yang diangkat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat tidak dapat lagi dimintakan penyumpahannya di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnnya terhitung sejak tangal 01 Mei 2009 sehingga ketika beracara di sidang Pengadilan seringkali menimbulkan permasalahan karena ditolak dengan alasan belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Terkait dengan akibat hukum yang ditimbulkan oleh Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 Tanggal 01 Mei 2009 tersebut di
atas, telah diajukan permohonan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat kepada Mahkamah Konstitusi yang oleh Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009 sebagaimana diucapkan dalam Sidang Pleno MK pada Hari Rabu tanggal 30 Desember 2009 pada intinya menyatakan bahwa "adalah mempunya kekuatan hukum yang mengikat jika Pengadilan Tinggi atas perintah UU wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat diputuskan oleh MK secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 tahun sejak amar Putusan MK tersebut diucapkan. (Bunga Rampai: "Sikap Hakim Terhadap Keabsahan Advokat Beracara Di Pengadilan Berkaitan Dengan Asal Organisasinya" oleh: Nurhadi, S.HI, Hal 27-28)
Hal ini tentu bertentanggan antara Putusan MK Nomor 101/PUU-VII/2009 tanggal 30 Desember 2009 yang menjelaskan "Pengadilan Tinggi atas perintah UU wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat" dengan Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006 tanggaln 30 November 2006 yang menjelaskan "organisasi profesi advokat di Indonesia menganut Sistem Single Bar (tunggal)".
Di sisi lain ada kehendak para Advokat dalam rangka meminimalisir polemik yang muncul terkait Oraginisasi Advokat yang diakui di Indonesia, maka para advokat yang menghendaki kebebasan dalam berorganisasi, sitem Multi Bar (jamak) merupakan sistem yang ideal untuk berlaku di Indonesia, dimana semua Organisasi advokat yang ada saat ini tetap diakui keberadaannya. Hal ini disampaikan oleh Sahala Siahaan, SH disampaikan pada tanggal 16 Agustus 2014.
Dari uraian diatas dapat disampaikan bahwa penulis tidak dalam posisi sebagai para pihak yang berkepentingan, akan tetapi penulis hanya memberikan sumbang saran kepada Organisasi Profesi Advokat untuk segera melakukan rekonsiliasi dalam hal menyelesaikan permasalahan internal Organisasi Profesi Advokat dan tanpa harus campur tangan dari pemerintah karena Advokat merupakan profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab. Sehingga dengan telah selesainya permasalahan tersebut dapat di ambil kesimpulan apakah Undang-Undang Advokat perlu atau tidak diganti.