Kabar Kantor Wilayah

Indeks Berita Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI

MENYOAL EKSISTENSI PENYIDIK

Foto WacanaRudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum -
Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumut

Adanya rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk merekrut penyidik sendiri dari kalangan internal KPK setelah MABES POLRI memutuskan menarik 20 penyidik mereka di KPK dengan dalih masa kerjanya "sudah berakhir" menimbulkan beragam pendapat menyangkut dasar hukum perekrutan penyidik sipil oleh KPK tersebut. Abraham Samad (Ketua KPK) berpendapat bahwa terdapat rujukan hukum yang dijadikan dasar dalam melakukan perekrutan penyidik sipil bahkan KPK telah berkonsultasi dengan Mahkamah Agung (MA) dan telah mendapat persetujuan terkait upaya tersebut. MA juga bersedia memfasilitasi KPK, dengan memberikan sejumlah pelatihan bagi calon penyidik sipil KPK yang dilakukan di Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) MA. Di beberapa negara, penyidik independen yang berasal dari sipil juga dimiliki KPK Malaysia dan KPK Hongkong.

Pengaturan Mengenai Penyidik
Perubahan yang sangat mendasar pada Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) di Indonesia terjadi setelah diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Salah satu perubahan tersebut dapat dilihat dari aspek kewenangan dalam penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh lembaga kepolisan dan kejaksaan. Sebelum KUHAP diberlakukan, penyidikan tindak pidana secara tradisional "dikuasai" oleh kejaksaan. Dalam Reglement Indonesia yang dibaharui (RIB S. 1941 No. 44), Pasal 51 ayat (1) yang dimaksud penyidik ialah kepala distrik, kepala indistrik, polisi umum yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu inspektur polisi dan pegawai polisi yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Dengan kata lain, bidang penyidikan adalah kewenangan pihak kejaksaan. Kewenangan tersebut masih berlanjut dengan keluarnya UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan "mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinir alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara" (Pasal 2 ayat (2).
Berbeda dengan kondisi tersebut, setelah berlakunya KUHAP, pada dasarnya penyidik hanya terdiri atas Penyidik Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 KUHAP yang menyebutkan: "Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan." Kemudian dipertegas dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: Penyidik adalah: (1) pejabat polisi negara Republik Indonesia; (2) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Sedangkan kewenangan Kejaksaan di bidang penyidikan menurut KUHAP dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terbatas terhadap tindak pidana tertentu saja.
Selanjutnya dalam perkembanganya, maka kemudian muncul berbagai UU yang didalam UU tersebut mengatur tentang penyidikan sekaligus membentuk institusi penyidik di luar sistem KUHAP seperti Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan untuk pelanggaran di Zona Ekonomi Eklusif penyidikannya dilakukan oleh Angkatan Laut Republik Indonesia. Keadaan demikian harus menjadi perhatian baik bagi teoritis maupun praktisi mengenai apakah misi KUHAP dilanjutkan atau disempurnakan sehingga dapat mengakomodir berbagai penyidik yang ada atau akan ada.

Syarat-Syarat Untuk Diangkat Sebagai Penyidik
Untuk dapat diangkat sebagai Penyidik POLRI, terdapat berbagai persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 2A PP No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP yakni: (a) berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah Sarjana (S1) atau yang setara; (b) bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun; (c) mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal; (d) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan (e) memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. Wewenang pengangkatan Penyidik POLRI dilakukan oleh Kapolri atau Pejabat yang ditunjuk oleh Kapolri. Selanjutnya dalam hal pada suatu satuan kerja tidak ada Inspektur Dua Polisi yang berpendidikan paling rendah Sarjana (S1) atau yang setara, maka dapat ditunjuk Inspektur Dua Polisi lain sebagai penyidik (Pasal 2B) juga dalam hal pada suatu sektor kepolisian tidak ada penyidik yang memenuhi persyaratan di atas, maka Kepala Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Inspektur Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik.
Selanjutnya untuk dapat diangkat sebagai PPNS berdasarkan Pasal 3A PP No. 58 Tahun 2010 harus memenuhi persyaratan yakni: (a) masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun; (b) berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a; (c) berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara; (d) bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum; (e) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah; (f) setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan (g) mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan. Selain harus memenuhi persyaratan tersebut, calon PPNS harus mendapat pertimbangan dari Kapolri dan Jaksa Agung Republik Indonesia. Calon PPNS yang telah memenuhi semua persyaratan di atas diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM RI atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri atas usul dari pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil tersebut.
Sedangkan untuk Penyidik KPK, berdasarkan ketentuan Pasal 21 (4) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan "Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum" dan berdasarkan Pasal 45 (1) disebutkan: "Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi". Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa baik pengangkatan maupun kewenangannya Penyidik KPK adalah penyidik yang dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dengan demikian Penyidik KPK tidak dapat dikategorikan sebagai Penyidik POLRI (meskipun sebagian berasal dari institusi POLRI) dan bukan juga dikategorikan sebagai PPNS (meskipun ada yang berasal dari institusi sipil). Dengan demikian Penyidik KPK tidak berada di bawah koordinasi Penyidik POLRI sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 yang menegaskan bahwa: "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini"

Kewenangan Penyidik
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan menemukan tersangka dari suatu tindak pidana. Dalam melaksanakan tugas penyidikan, maka penyidik diberi kewenangan tertentu menurut undang-undang. Dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP, kewenang penyidik meliputi: (a) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; (b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; (c) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) mengambil sidik jari dan penyitaan surat; (g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai seorang tersangka atau saksi; (h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungaannya dengan pemeriksaan perkara; (i) mengadakan penghentian penyidikan; dan (j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Kewenangan-kewenangan tersebut merupakan kewenangan penyidik dalam tindak pidana umum. Berdasarkan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dimungkinkan adanya penyimpangan atau pengecualian dari ketentuan KUHAP terhadap proses acara pidana dari suatu tindak pidana khusus yang diatur dalam UU tertentu. Salah satunya adalah UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, serta UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam UU Tipikor, Pasal 26 menyebutkan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, (dalam hal ini KUHAP) kecuali ditentukan lain dalam UU itu sendiri. Adapun beberapa pengecualian yang berkaitan dengan kewenangan penyidik dalam UU Tipikor antara lain: (1) penyidik berhak meminta keterangan bank tentang keadaan keuangan tersangka/terdakwa (Pasal 29 ayat (1)); (2) penyidik berwenang meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka/terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi (Pasal 29 ayat (4)); (3) penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30).

Harapan
UU KPK bersifat lex specialis terhadap KUHAP. Hal ini disebutkan secara tegas pada Pasal 38 ayat (2) UU KPK yang menegaskan bahwa ketentuan pada Pasal 7 ayat (2) KUHAP tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi KPK. Artinya bahwa penyidik di KPK tidak berada di bawah koordinasi dan pengawasan atau hubungan dengan POLRI. Dengan kata lain, dimungkinkan adanya penyidik KPK yang bukan dari POLRI. Pasal 45 UU KPK juga lebih menegaskan, bahwa Penyidik adalah Penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Rumusan ini sama persis dengan Pasal 43 yang mengatur tentang Penyelidikan. Seperti diketahui, saat ini KPK sudah merekrut Penyelidik sendiri yang tentu bisa berlaku sama untuk Penyidik. Di samping itu bahwa ternyata tidak ada penyebutan Penyidik KPK harus dari POLRI. berbeda dengan Penuntut yang harus berasal dari unsur Jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (3) UU KPK. Rujukan lain yang dapat dilihat adalah Pasal 63 PP No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK yang mengenal istilah Pegawai Tetap, didefenisikan sebagai pegawai yang memenuhi syarat dan diangkat oleh Pimpinan KPK melalui proses seleksi. Hal ini berarti eksistensi atau keberaan Pegawai Tetap diakui oleh peraturan perundang-undangan, sehingga jika KPK mempunyai penyidik sendiri, maka penyidik tersebut dapat dikategorikan sebagai pegawai tetap.
Namun dari semua analisis di atas untuk kepentingan jangka panjang, maka saatnya melakukan sebuah terobosan untuk mengubah UU No. 30 Tahun 2002 dengan menambah muatan tentang perekrutan penyidik dan penuntut independen untuk KPK sehingga tidak selalu tergantung kepada penyidik dan penuntut dari luar institusi KPK bukan malahan dengan mengurangi kewenangan KPK.

logo besar kuning
 
KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM
PROVINSI SUMATERA UTARA
PikPng.com school icon png 2780725   Jl. Putri Hijau No. 4, Kesawan, Medan Barat, Kota Medan, Sumatera Utara 20112
PikPng.com phone icon png 604605   081260894926
PikPng.com email png 581646   Email Kehumasan
    kanwilsumut@kemenkumham.go.id
PikPng.com email png 581646   Email Pengaduan
    humas.kanwilsumut@gmail.com

 

facebook kemenkumham   twitter kemenkumham   instagram kemenkumham   Youtube kemenkumham
logo besar kuning
 
KANWIL KEMENKUMHAM
PROVINSI SUMATERA UTARA


         

  Jl. Putri Hijau No. 4, Kesawan, Medan Barat,
Kota Medan, Sumatera Utara 20112
  081260894926
  kanwilsumut@kemenkumham.go.id
  humas.kumhamsumut@gmail.com

Copyright © Pusat Data dan Teknologi Informasi
Kemenkumham RI