Medan (13/6) Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI bekerjasama dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dalam menggelar Seminar Transformasi Konflik Pertanahan Menurut Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Sumatera Utara yang diikuti oleh peserta berjumlah 50 Orang terdiri dari jajaran Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara, Perguruan Tinggi Negeri, Tokoh Adat, Tokoh Agama/Masyarakat, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), LBH (Lembaga Bantuan Hukum) di Kota Medan), dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara.
Narasumber pada kegiatan seminar ini terdiri dari pejabat struktural Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara, Akademisi USU, dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Utara.
Dari materi pemaparan para narasumber disampaikan antara lain yaitu dari kajian contoh kasus permasalahan pertanahan yang disengketakan melibatkan masyarakat petani dan masyarakat adat yang sering kali menimbulkan perdebatan dan terjadinya bentrokan serta ada juga yang harus meringkuk di balik jeruji besi dengan berbagai dalih hukum pidana yang dituduhkan menunjukkan fakta bahwa para masyarakat petani/masyarakat adat dijadikan target kriminalisasi dengan berbagai tuduhan melakukan delik pidana seperti yang diatur dalam Pasal 160 dan Pasal 163 KUH Pidana serta Pasal 355 KUH Pidana. Berbagai peraturan perundang-undangan khusus juga sering dijadikan dasar hukum untuk menjerat para masyarakat petani/masyarakat adat sebagai pelaku kriminal misalnya dengan tuduhan telah melanggar UU RI Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, dan berbagai ketentuan pidana lainnya yang dijadikan dasar mengkriminalisasi para masyarakat petani/masyarakat hukum adat. Sehingga akibat dari berbagai konflik pertanahan tersebut juga berdampak kepada konflik sosial dan tentunya tidak sewajarnya dibiarkan sebagai bahaya laten sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat dan pembangunan di Republik Indonesia. Kehadiran UU RI Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial diharapkan dapat menyelesaikan berbagai konflik sosial termasuk konflik sosial yang diakibatkan oleh masalah pertanahan dapat diatasi dan diselesaikan secara komprehensif dimana di dalam Pasal 2 UU RI Nomor 7 Tahun 2012 diterangkan bahwa asas-asas menjadi acuan dalam penanganan konflik.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dalam materi pemaparannya menyampaikan ibarat bom waktu, konflik pertanahan yang bersifat multidimensional terjadi di hampir seluruh wilayah Republik Indonesia setiap saat bisa meledak menjadi aksi kekerasan, anarkisme, dan gangguan sosial. Menguatnya konflik pertanahan menantang untuk segera dicegah, ditangani, dan diselesaikan secara menyeluruh. Penanganan sporadis dan parsial sudah tak lagi efektif. Butuh teroboson, respon cepat, langkah akurat, dan mendasar.
Karena konflik pertanahan sudah termasuk dalam kategori konflik sosial dan sangat rentan dengan pelanggaran hak asasi manusia maka dalam proses penanganannya sangat tepat dan dimungkinkan didasarkan kepada Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. (Humas)