Pada Tanggal 23 juli 2014 Pemerintah telah menerbitkan Keppres Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK, penerbitan Keppres ini berkaitan dengan akan berakhirnya masa jabatan komisioner KPK Busyro Muqoddas pada tanggal 10 Desember 2014 mendatang (republika.co.id). Penerbitan Keppres ini juga didasarkan pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/UUP-IX/VI/2011. Penerbitan Keppres ini langsung mendapat tanggapan keberatan dari pimpinan KPK, hal ini disebabkan sebelum penerbitan Keppres, Pimpinan KPK telah bersurat kepada Pemerintah yang isinya menyarankan untuk tidak membentuk pansel pengganti Busyro Muqoddas yang masa jabatannya akan berakhir akhir 2014. Pasalnya, pemerintah tahun depan harus kembali membentuk pansel untuk memilih pimpinan KPK periode 2015-2019 sebagai pengganti pimpinan KPK jilid III yang masa tugasnya berakhir Desember 2015. Pimpinan KPK khawatir pengisian jabatan komisioner KPK yang akan ditinggalkan Busyro Muqoddas kelak tidak bisa mengejar ritme kerja di KPK.
Ketidakseragaman Berakhirnya Masa Jabatan Komisioner KPK
Latar belakang munculnya ketidakseragaman waktu pengisian jabatan komisioner KPK bermula dari ditetapkannya Ketua KPK (Antasari Azhar) sebagai tersangka kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen, tak lama berselang Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan juga menjadi tersangka oleh Polri atas penyalahgunaan wewenang terkait penetapan dan pencabutan pelarangan Djoko Tjandra keluar negeri dan penetapan pelarangan bepergian keluar negeri atas nama Anggoro Widjojo. Penetapan sebagai tersangka 3 (tiga) komisioner KPK pada saat itu menyebabkan kekosongan beberapa jabatan pimpinan KPK, karena berdasarkan Pasal 32 ayat 2 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, Pimpinan KPK diberhentikan sementara apabila ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana kejahatan. Pemberhentian sementara pimpinan KPK dikhawatirkan mengganggu kinerja pemberantasan korupsi, berdasarkan hal tersebut Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menjadi dasar penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK. selanjutnya, Bibit dan Chandra mengajukan uji materi terhadap ketentuan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 32 Ayat (1) huruf c UU KPK bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionaly unconstitutional). Pasal itu baru dinyatakan tidak bertentangan jika diterapkan pada pimpinan KPK yang berhenti atau diberhentikan karena dijatuhkan pidana berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan Putusan MK tersebut, maka Pimpinan KPK baru dapat diberhentikan apabila telah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Konsekuensinya ketika Bibit dan Chandra masih berstatus sebagai tersangka maupun terdakwa dan belum dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan, maka yang bersangkutan belum dapat diberhentikan dari jabatan Pimpinan KPK. Gayung pun bersambut, pada saat kasus Bibit dan Chandra dilimpahkan dari Penyidik kepada Penuntut Umum, Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Berikutnya giliran Perppu Nomor 4 Tahun 2009 juga ditolak oleh DPR untuk dijadikan Undang-Undang, sehingga penunjukan Plt. Pimpinan KPK dengan sendirinya telah gugur. Berdasarkan kronologi kejadian tersebut Presiden melalui Keppres Nomor 101/P tahun 2009 tertanggal 4 Desember 2009 kembali mengaktifkan 2 (dua) Pimpinan KPK (Bibit dan Chandra). Pengaktifan kembali 2 (dua) Komisioner KPK ini masih menyisakan kekosongan 1 (satu) jabatan Pimpinan KPK yang ditinggalkan oleh Antasari Azhar, untuk itu Presiden membentuk Panitia seleksi untuk menggantikan posisi Antasari Azhar di KPK. Dalam proses seleksi tersebut dan setelah dilakukan fit and proper test oleh DPR, akhirnya Busyro Muqoddas terpilih untuk menggantian Antasari Azhar sebagai Pimpinan KPK. Pada saat itu juga disepakati bahwa masa jabatan pengganti Antasari Azhar adalah 4 (empat) tahun walaupun masa jabatan KPK Jilid II akan berakhir 1 (satu) tahun lagi.
Pengisian Jabatan Pimpinan KPK
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Ketentuan Pasal tersebut menegaskan bahwa KPK diklassifikasikan sebagai lembaga negara yang indipenden. Menurut Asimow, komisi negara adalah: "units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent" Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur dari ketiganya.(Denny Indrayana). Lebih jauh, mengutip keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Humprey's Executor v. United States, Asimow berpendapat bahwa yang dimaksud dengan independen berkait erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya komisi negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, karena jelas tegas merupakan bagian dari eksekutif.(ibid)
Selain masalah pemberhentian yang terbebas dari intervensi presiden, Funk dan Seamon menambahkan bahwa sifat independen juga tercermin dari: (1) kepemimpinan yang kolektif, bukan seorang pimpinan; (2) kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan (3) masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered term).(ibid)
Berdasarkan Pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa KPK merupakan lembaga negara indipenden yang kedudukannya berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun judikatif. Konsekuensi penegasan KPK sebagai lembaga negara indipenden berkaitan erat dengan mekanisme pemberhentian pimpinan KPK yang tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang oleh cabang-cabang kekuasaan yang ada. Pemberhentian Pimpinan KPK harus didasarkan pada hal yang diatur dalam UU KPK. Demikian pula terkait dengan pengisian jabatan pimpinan KPK tidak harus dilakukan secara seragam dikarenakan masa jabatan pimpinan KPK tidak habis dalam waktu yang bersamaan pula.
Berkaitan dengan keinginan pimpinan KPK yang meminta kepada pemerintah agar masa jabatan Busyro dapat diperpanjang, hal ini dapat dipahami sebagai reaksi logis pimpinan KPK, dimana pada saat ini KPK sedang melakukan percepatan penyelesaian kasus-kasus korupsi kelas kakap sehingga ada anggapan bahwa proses seleksi ini hanya merupakan upaya untuk memperlemah KPK yang formasinya sudah solid. Hanya saja perlu diketahui, bahwa dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tidak terdapat satu rumusan pun yang mengatur pergantian antar waktu Komisioner KPK. Dalam UU tersebut pengisian jabatan Pimpinan KPK yang telah habis masanya hanya dimungkinkan melalui mekanisme seleksi yang dilaksanakan oleh Pansel dan dilanjutkan dengan fit and proper test di DPR. Sedangkan berkaitan dengan keinginan Pimpinan KPK selanjutnya yang menyatakan jika jabatan Busyro tidak dapat diperpanjang maka lebih baik tidak ada penambahan Komisioner, karena dikhawatirkan komisioner terpilih bakal mengganggu ritme kerja yang telah dibangun oleh Pimpinan KPK saat ini. Memang upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK saat ini melibatkan orang-orang yang memiliki pengaruh besar, sehingga keberadaan 4 (empat) komisioner KPK tersisa berpotensi dijadikan sebagai celah untuk mempermasalahkan legitimasi keputusan yang diambil oleh Pimpinan KPK, karena ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penutup
Berdasarkan pendapat ahli maupun ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, memberikan basis legitimasi yang kuat untuk melakukan proses seleksi pengisian jabatan Pimpinan KPK yang habis masa jabatannya. Namun demikian, dalam proses seleksi tersebut sudah sepatutnya juga Pansel mengakomodir keinginan Pimpinan KPK dan menepis berbagai kekhawatiran Pimpinan KPK dengan melakukan proses seleksi yang transparan dan akuntabel tanpa adanya agenda terselubung. Selain itu, Pansel juga diharapkan dapat memilih calon-calon yang memiliki integritas diatas rata-rata dan berpengalaman dalam upaya pemberantasan korupsi, sehingga diharapkan komisioner terpilih dapat mengikuti ritme kerja yang diharapkan oleh Pimpinan KPK saat ini dan memenuhi ekspektasi publik.
(Eka N.A.M. Sihombing)
Penulis adalah :
- Perancang Peraturan Perundang-Undangan Muda pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara;
- Dosen Fakultas Hukum UMSU Medan