Medan, Balitbang Hukum dan HAM kembali inisiasi kegiatan opini kebijakan. Kegiatan opini kebijakan kali ini diselenggarakan oleh Kanwil Kemenkumham Riau bekerjasama dengan Balitbang Hukum dan HAM, dengan mengambil tema “Urgensi Pengelolaan Royalti di Bidang Literasi”. Kegiatan ini sebagai edukasi kepada masyarakat dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya berdasarkan profesi serta keterampilan yang dimiliki.
Kegiatan ini juga ditujukan untuk menjadi jembatan informasi. Jembatan informasi dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan, kemudian kontribusi dari para peneliti maupun masyarakat pengamat dan pemerhati terhadap isu-isu yang berkembang yang aktual di Indonesia.
Kantor wilayah Kemenkumham Sumatera Utara turut berpartisipasi dalam kegiatan opini kebijakan ini dengan hadir secara virtual bertempat di ruang rapat Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Sumatera Utara.
Merujuk definisi yang diberikan UNESCO terhadap pengertian literasi, literasi adalah sebuah kompetensi, kompetensi dalam hal membaca maupun menulis. Dari beberapa buku juga banyak menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan literasi. Lagi-lagi definisi yang ditemukan secara garis besar adalah mengenai membaca dan menulis.
“Ketika kita mengatakan membaca, maka membaca itu adalah sebagai suatu keterampilan untuk menterjemahkan simbol-simbol yang ada pada tema yang sedang kita lihat. Itu kira-kira definisi umum untuk membaca.” kata Iwan Plt.Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM (Kamis,9/3/23)
“Kemudian ketika kita mendefinisikan atau menjabarkan tentang menulis, menulis adalah bagaimana kita bisa mengekspresikan gagasan dan pikiran kita ke dalam redaksi-redaksi atau tulisan-tulisan ke dalam simbol-simbol.” lanjutnya
Baik membaca dan menulis memiliki hubungan dengan kekayaan intelektual. Lantas apa hubungannya tulisan dan membaca dengan royalti?
“Kalau kita mengambil salah satu definisi dari literasi yaitu menulis, maka karya tulis yang dihasilkan itu merupakan salah satu karya literasi dan itu juga merupakan sebuah karya kekayaan intelektual yang dimiliki oleh seorang.” kata Iwan
Kekayaan intelektual dalam bentuk buku, tentu saja dalam konteks kekayaan intelektual yang diberikan perlindungan dalam bentuk hak cipta. Tetapi seiring berkembangnya pengetahuan seseorang terhadap sebuah karya tulis dalam bentuk buku, bahwa buku ini tidak hanya berupa tulisan-tulisan yang bermanfaat, tetapi harus dikemas ke dalam sebuah karya yang sangat menarik minat.
Itulah kemudian selanjutnya ada yang bertugas sebagai editor, ada yang bertugas sebagai illustrator, ada yang membuat sampulnya supaya kemasan buku ini menarik dan ini semua kemudian dikategorikan atau dikualifikasi sebagai karya-karya literasi.
“Oleh karena itu, ketika ini menjadi suatu buah karya literasi yang dilindungi oleh undang-undang, maka terhadapnya pun ada hak-hak yang kemudian timbul dalam mana sebuah buku dibaca, dalam mana sebuah buku digandakan misalnya, dan ini merupakan bagian dari apa yang akan menjadi Tema kita. Dan inilah yang kemudian kita sebut royalti.” kata Iwan
“Sejumlah uang atau sejumlah pembayaran yang harus diberikan kepada orang yang berhak sebagai pemilik sebuah karya cipta. Apakah itu buku, apakah itu hal-hal yang lain tapi dalam konteks ini karena yang kita bahas adalah urgensi terhadap royalti terhadap literasi” lanjutnya (Humas/FM)