Medan - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara mengikuti Pelaksanaan Opini Kebijakan yang secara terpusat pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Barat yang diikuti secara daring melalui Zoom oleh Kepala Bidang HAM, Kasubbid Pengkajian, Penelitian Pengembangan Hukum dan HAM beserta seluruh tim. (28/03/2023).
Kegiatan ini mengambil tema “Analisis Isu Kebijakan Pekerja Anak di Sektor Parawisata”. Diawali Laporan Kegiatan yang disampaikan secara langsung oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Nusa Tenggara Barat Romi Yudianto, S.H., M.H dan dibuka secara langsung melalui Zoom oleh Staf Ahli Bidang Sosial Kemenkumham Min Usihen, S.H., M.H. Dimana hadir sebagai Narasumber Kepala Dinas Pariwisata Prov. NTB Jamaluddin, S.Sos., M.T, Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Univ. Mataram Joko Jumadi,SH.,M.H, dan Analis Perlindungan Hak-Hak Sipil dan HAM Balitbangkumham. Kegiatan ini juga diikuti oleh seluruh Kantor Wilayah dan Unit Pelaksana Teknis seluruh Indonesia melalui Media Virtual ataupun Live Streaming Youtube. Pada Opini kali ini jumlah peserta yang mengikuti melalui media zoom berjumlah 1125 partisipan.
Pada kesempatan kali ini Kanwil Kemenkumham Nusa Tenggara Barat menampilkan video yang bercerita tentang Pekerja Anak di daerah Destinasi Wisata. Pekerja anak merupakan isu global yang diagendakan untuk ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan. Komitmen ini dinyatakan dalam bentuk cita-cita bersama dengan motto “Masa Depan Tanpa Pekerja Anak.” Menurut data pada Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam 3 tahun terakhir (2019-2021) bahwa tahun 2020 bahwa Nusa Tenggara Barat memilik jumlah Pekerja Anak terbanyak dibandingkan data tingkat nasional yaitu mencapai 4,56% dibandingkan data nasional sebesar 3,27%. Ada 6 faktor yang mengakibatkan tingginya persentase Pekerja anak yaitu: Kemiskinan, Gagalnya Sistem Pendidikan, Perekonomian Informal, Pendidikan Kepala keluarga, Partisipasi Sekolah dan Pendapatan Anak. Tingginya pekerjaan anak di domain pada daerah destinasi wisata, dimana juga faktor yang dapat membahayakan anak jika dia bekerja di daerah destinasi wisata seperti pelecehan seksual pada anak. Kerentanan anak mengalami eksploitasi seksual didaerah tujuan wisata bukan merupakan fenomena nasional.
Dengan membuat strategi kebijakan untuk pencegahan eksploitasi seksual anak didaerah tujuan wisata dilevel desa dan kelurahan yang melibatkan seluruh unsur masyarakat, Pemerintah Desa atau kelurahan, RT dan RW, stakeholder Pariwisata dan Pemangku Kepentingan diharapkan akan mampu menjadi kunci perubahan atas perlindungan anak dari eksplotasi seksual didaerah tujuan wisata.
Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi bersama dan tanya jawab narasumber dan peserta Opini Kebijakan.