Kabar Kantor Wilayah

Indeks Berita Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI

CATATAN KRITIS TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENYANDANG DISABILITAS

Oleh: Marzuki, SH
Staf Bidang Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara

Pasal 28I UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah. Hak Asasi Manusia pada dasarnya bersifat universal, tidak dapat dikurangi, dibatasi, dihalangi, apalagi dicabut oleh siapapun termasuk Negara. Berangkat dari pemahaman tersebut maka perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia wajib dijunjung tinggi oleh semua elemen bangsa termasuk masyarakat. Indonesia sendiri telah meratifikasi Convention on the Right of Person with Disabilities (CRPD) melalui UU No. 19 Tahun 2011 sebagai upaya mengoptimalkan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, karena CRPD menggeser paradigma dalam perilaku dan pendekatan terhadap penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas tidak dilihat sebagai objek kegiatan amal, perlakuan medis dan perlindungan sosial (yang berbasis belas kasihan), tetapi penyandang disabilitas dilihat sebagai manusia utuh yang memiliki hak dan mampu mendapatkan hal tersebut serta membuat keputusan terhadap hidup mereka termasuk berpartisipasi penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring serta evaluasi pembangunan seperti halnya anggota masyarakat lainnya. (Kerangka acuan kunjungan kerja badan legislasi dalam rangka penyusunan RUU tentang Penyandang Disabilitas)
Sebenarnya Indonesia telah memiliki payung hukum bagi disabilitas, hal ini dapat kita lihat di UU No. 7 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan PP No. 43 Tahun 1999 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Cacat dimana paradigmanya memang masih berdasarkan belas kasihan, belum menjamin terlaksananya hak-hak penyandang disabilitas, serta ketiadaan penegasan sanksi dalam peraturan pelaksanaanya. Hal ini yang menjadi latar belakang DPR RI untuk mengajukan Hak Inisiatif dalam mengusulkan RUU tentang Penyandang Disabilitas karena dianggap UU No. 7 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tidak lagi relevan untuk saat ini.

Kita harus mengapresiasi kehadiran RUU ini, dikarenakan RUU ini merupakan jawaban atas dinamika perkembangan perlindungan Hak Asasi Manusia khususnya perlindungan HAM terhadap penyandang disabilitas, selain itu RUU tentang Penyandang Disabilitas juga merupakan penyempurnaan terhadap UU No. 7 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan PP No. 43 Tahun 1999 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Cacat.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan dalam RUU tentang Penyandang Disabilitas Pertama perlu dipertimbangkan kesiapan/kemapuan negara dalam meyediakan berbagai sarana dan prasarana guna melindungi perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM bagi penyandang cacat, hal ini dikarenakan Undang-Undang ini merupakan pemberian hak kepada Penyandang Disabilitas sehingga nantinya masyarakat khususnya para penyandang disabilitas tidak mengajukan Class Action ke pengadilan karena tidak terpenuhi sarana dan prasarana bagi penyandang disabilitas oleh negara sebagaimana diamanatkan dalam RUU tentang Penyandang Disabilitas.
Kedua berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 huruf a dalam RUU tentang Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas berhak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan politik. Hal ini tentu akan bertentangan dengan yang diamanatkan Pasal 6 Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengharuskan bagi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden memiliki kemampuan baik secara rohani maupun jasmani dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Jika kita lihat di ketentuan dalam Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan salah satu isi materi peraturan perundang-undangan adalah pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed. Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah dari padanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya. (Turiman Fachturahman Nur, 2014).

Hal ini perlu diperhatikan agar Undang-Undang ini nantinya semenjak diberlakukan tidak diajukan gugatan uji materi ke Makamah Konstitusi karena dianggab bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6 Ayat (1), jika Pasal ini tetap ingin dimasukkan agar perlu diberikan batasan "jabatan publik" yang mana dimaksud.
Ketiga perlu di perhatikan dalam RUU tentang Penyandang Disabilitas ketentuan dalam Pasal 207 yang menyatakan "Tenaga kesehatan sebagaimana dalam Pasal 71 Ayat (1) dilarang melakukan tindakan Medis dan pengobatan bagi penyandang disabilitas tanpa mendapatkan persetujuan langsung atau tertulis dari Penyandang Disabilitas" jika dikaitakan dengan ketentuan dalam Pasal 218 yang menyatakan "Tenaga kesehatan yang melakukan tindakan Medis dan pengobatan bagi Penyandang Disabilitas tanpa mendapat persetujuan langsung atau tertulis dari Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun". Rumusan pasal tersebut menimbulkan ketakutan bagi Tenaga Medis dan Pihak Rumah sakit untuk melakukan tindakan medis bagi Penyandang Disabilitas dalam kondisi tertentu. Sebagai contoh seorang Penyandang Disabilitas yang mengalami kecelakaan lalu lintas, lalu dibawa kerumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri sehingga perlu pertolongan medis yang bersifat urgensi guna menyelamatkan nyawa sikorban tersebut, hal ini tidak dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dikarenakan adanya ketentuan dalam Pasal 218 yang menyatakan "Tenaga kesehatan yang melakukan tindakan Medis dan pengobatan bagi Penyandang Disabilitas tanpa mendapat persetujuan langsung atau tertulis dari Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun". Akibat dari ketentuan dalam Pasal 218 tersebut, Tenaga Medis dan pihak Rumah Sakit tidak dapat melakukan pertolongan kepada si korban, sehingga dikuatirkan korban akan meninggal dunia, disisi lain jika Tenaga Medis dan pihak Rumah Sakit tetap memberikan pertolongan kepada sikorban tetapi setelah diupayakan semaksimal mungkin oleh Tenaga Medis dan pihak Rumah Sakit untuk menolong nyawa sikorban, tetap tidak dapat diselamatkan akan menjadi masalah bagi Tenaga Medis dan pihak Rumah sakit itu sendiri dikarenakan keluarga korban atau ahli warisnya dapat membawa masalah ini kejalur hukum.

Lebih lanjut di dalam ketentuan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 51 menyebutkan Dokter atau Dokter Gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban pertama memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; kedua merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; ketiga merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; ketiga melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan keempat menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi, disisi lain berdasarkan ketentuan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 29 Ayat 1 huruf b dan c menyatakan bahwa rumah sakit mempunyai kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan dan memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya, dan apabila Rumah Sakit tidak menjalankan kewajibannya maka berdasarkan Pasal 29 Ayat (2) rumah sakit dapat dikenakan sanksi admisnistratif berupa teguran, teguran tertulis, atau denda dan pencabutan izin Rumah Sakit. Hal ini akan berpotensi menimbulkan pertentangan antara RUU tentang Penyandang Disabilitas Pasal 218 dengan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 dan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 29 Ayat (1) huruf b dan c.

Dari uraian diatas dapat disampaikan bahwa RUU tentang Penyandang Disabilitas perlu mendapat apresiasi dari seluruh lapisan masyarakat guna melindungi perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia khususnya bagi Penyandang Disabilitas, akan tetapi dalam penyusunannya perlu dikaji kembali secara komperhensif agar pengganti UU No. 7 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tidak bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan yang sederajat sehingga nantinya dapat dilaksanakan dan berdaya guna.

logo besar kuning
 
KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM
PROVINSI SUMATERA UTARA
PikPng.com school icon png 2780725   Jl. Putri Hijau No. 4, Kesawan, Medan Barat, Kota Medan, Sumatera Utara 20112
PikPng.com phone icon png 604605   081260894926
PikPng.com email png 581646   Email Kehumasan
    kanwilsumut@kemenkumham.go.id
PikPng.com email png 581646   Email Pengaduan
    humas.kanwilsumut@gmail.com

 

facebook kemenkumham   twitter kemenkumham   instagram kemenkumham   Youtube kemenkumham
logo besar kuning
 
KANWIL KEMENKUMHAM
PROVINSI SUMATERA UTARA


         

  Jl. Putri Hijau No. 4, Kesawan, Medan Barat,
Kota Medan, Sumatera Utara 20112
  081260894926
  kanwilsumut@kemenkumham.go.id
  humas.kumhamsumut@gmail.com

Copyright © Pusat Data dan Teknologi Informasi
Kemenkumham RI