Oleh:
Hisar P. Butar-Butar
Perancang Peraturan Perundang-undangan
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara
Dalam rangka Hari Anti Korupsi yang jatuh pada tanggal 9 Desember, penulis merenung ternyata ikhtiar pencegahan dan pemberantasan korupsi sebenarnya telah dilakukan sejak pemerintahan Presiden Soekarno dengan menerbitkan Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Penuntutan, Pengusutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi hingga pemerintahan Presiden Soeharto dengan menerbitkan UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Indonesia lah negara pertama yang mencanangkan peraturan khusus pemberantasan korupsi melalui Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/C 13/1958 tertanggal 16 April 1958 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Prt/Z.1./1/7 tertanggal 17 April 1958, selain itu juga Indonesia yang pertama di kawasan Asia Tenggara memuat ancaman sanksi pidana terberat bagi semua delik yang dikategorikan sebagai korupsi. Kemudian pada era reformasi ikhtiar pencegahan dan pemberantasan korupsisemakin intensif dengan telah diratifikasikannya Konvensi PBB tentang Anti Korupsitahun 2003 (United Nations Convention Against Corruption 2003) melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. Pemerintah juga menerbitkan sejumlah instruksi maupun amanat presiden menyangkut pencegahan dan pemberantasan korupsi serta membentuk institusi pelaksana dan pendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi, seperti KPK, PPATK, serta LPSK. Namun efektivitas hukum, pranata hukum serta penegakan hukum tersebut belum menyebabkan iklim korupsi membaik.
Dalam kajian politik hukum pidana, hukum pidana memiliki kemampuan yang terbatas untuk menanggulangi kejahatan korupsi, yaitu: 1) Sebab-sebab korupsi yang demikian kompleks, tidak dapat diatasi dengan hukum pidana berada di luar jangkauan hukum pidana; 2) Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosiopsikologis, sosiopolitik, sosioekonomi,sosiokultural, dan sebagainya); 3) Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan "kurieren am symptom", oleh karena itu hukum pidanahanya merupakan "pengobatan simptomatik" dan bukan "pengobatan kausatif"; 4) Sanksi hukum pidana merupakan "remedium" yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif; 5) Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional; dan 6) Berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut "biaya tinggi".
G. Piter Hoefnagel mengemukakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing view of society on crime and punishment). Kebijakan penanggulangan kejahatan tanpa menggunakan hukum pidana (non penal policy) juga memainkan peranan. Salah satu bentuk penanggulangan kejahatan tanpa menggunakan hukum pidana (non penal policy) adalah pelibatan peran serta masyarakat. Keterlibatan masyarakat ini sangat penting karena kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha rasional dari masyarakat sebagai reaksi terhadap kejahatan tersebut.
Ketika almarhum Abdulrahman Wahid sebagai presiden menyadari perlu menarik kesadaran masyarakat dalam memerangi korupsi dengan menandatangani PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketika itu Presiden Abdulrahman Wahid mengerti bahwa masyarakat tidak hanya butuh selembar kertas piagam penghargaan dan sekeping lencana untuk merangsang minat masyarakat terhadap usaha pemberantasan korupsi.
Namun faktanya belum ada masyarakat yang melapor memperoleh imbalan atas jasanya memerangi korupsi sebagaimana yang telah diatur PP Nomor 71 Tahun 2000. Bahkan masyarakat yang melaporkan dugaan korupsi karena tidak memiliki bukti-bukti yang akurat malahan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan seperti yang dialami oleh beberapa anggota masyarakat. Hal seperti ini menyebabkan masyarakat menjadi takut untuk melaporkan adanya dugaan yang mereka ketahui dan bahkan menjadi tidak peduli lagi terhadap usaha Pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.Pemikiran mengenai pelibatan masyarakat dalam memerangi kejahatan khususnya korupsi telah diyakini oleh pembentuk peraturan perundang-undangan, yakni dengan mencantumkan peran serta masyarakat dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Pasal 41 dan Pasal 42 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian untuk menarik peran serta sekaligus untuk menghargai peran serta masyarakat dan pemberantasan tindak pidana korupsi maka diundangkan PPNomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 tersebut telah diatur tentang imbalan atas jasa masyarakat dalam memerangi korupsi berupa berupa piagam atau premi. Lebih lanjut tentang piagam atau premi telah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH‐04.KP.07.05 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemberian Penghargaan Bagi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Serta Bentuk dan Jenis Piagam Penghargaan sebagai petunjuk pelaksana dari PP Nomor 71 Tahun 2000 yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 288. Didalam peraturan menteri ini jelas disebutkan bahwa premi yang harus diterima dalam bentuk uang, berapa dan kemana uang tersebut harus diminta. Selain itu adakepastian dalam pemberian premi, dimana Jaksa Agung paling lama 30 hari harus mengajukan premi itu kepada Kementerian Keuangan. Ketentuan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM ini juga secara mutatis mutandis berlaku dan dapat dijadikan dasar bagi Pemerintah Daerah dengan ketentuan sesuai dengan hierarki instansi masing-masing dan biaya untuk pemberian piagam atau premi dibebankan pada APBD.
Sebagai penutup, disimpulkan bahwaselama ini dalam memerangi korupsi Pemerintah (mulai dari pemerintahan orde lama hingga pemerintahan era reformasi) lebih banyak mengandalkan pemidanaan (penal policy) melalui sanksi pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Padahal dalam kajian politik hukum pidana penanggulangan kejahatan juga bisa dilakukan tanpa menggunakan hukum pidana (non penal policy), salah satunya dengan pelibatan peran serta masyarakat. Karena itu diperlukan komitmen yang tegas dalam menerapkan aturan pemberian premi sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH‐04.KP.07.05 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemberian Penghargaan Bagi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Serta Bentuk dan Jenis Piagam Penghargaan.