Urgensi Harmonisasi Perda

...tidak sederhana mengatakan, bahwa hukum menciptakan keamanan dan ketertiban. Namun, hukum juga bisa menimbulkan persoalan. Kekurang hati-hatian dalam membuat hukum memiliki resiko, bahwa hukum malah menyusahkan atau menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Hukum juga memiliki potensi untuk menjadi kriminogen, inilah tragedi manusia dan hukumnya...

(Satjipto Rahardjo)

Kontrol Administratif Pemerintah Dalam Pengawasan Perda

Penyerahan sebagian besar kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah telah menempatkan Pemerintah Daerah sebagai ujung tombak pembangunan nasional untuk menciptakan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, peran dan dukungan daerah dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan sangat strategis, khususnya dalam membuat Peraturan Daerah (Perda) dan peraturan lainnya. Seperti layaknya peraturan perundang-undangan yang lain, pembentukan Perda tidak lepas dari pengawasan dan pengendalian. Sebenarnya hal ini berkenaan dengan kontrol terhadap norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, melalui apa yang biasa disebut dengan mekanisme kontrol norma hukum (legal norm control mechanism). Menurut Jimly Asshiddiqie ada tiga bentuk pengawasan/pengendalian (norma hukum) dalam peraturan perundang-undangan, yaitu : Pertama, kontrol yuridis, yaitu pengawasan/pengendalian peraturan perundang-undangan melalui uji materil (judicial review), Kedua, kontrol administratif, yaitu pengawasan/pengendalian peraturan perundang-undangan oleh eksekutif atau lembaga administrasi yang menjalankan fungsi "bestuur" dibidang eksekutif, dan Ketiga, kontrol politik, yaitu pengawasan/pengendalian peraturan perundang-undangan oleh lembaga politik misalnya parlemen. (Jimly Asshiddiqie: 2006).

Norma hukum yang terdapat dalam Perda juga tidak luput dari legal norm control mechanism tersebut. Kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, merupakan bentuk kontrol administratif Menteri Dalam Negeri yang menjalankan fungsi "bestuur". Dampak dari pelaksanaan kewenangan Menteri Dalam Negeri tersebut adalah dengan adanya pembatalan Perda, jumlah Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah (Menteri Dalam Negeri) secara nasional sejak 2002 hingga 2009 sudah 1878 Perda yang dibatalkan. Rinciannya, Perda yang dibatalkan terdiri atas 94 Perda Provinsi, 1334 Perda Kabupaten dan 416 Perda Kota. Sedangkan jumlah Perda yang dihentikan pungutanya dengan surat klarifikasi Menteri Dalam Negeri dari Januari sampai dengan Oktober 2010 sebanyak 329 Perda. Kemudian ada 2.678 Perda yang masih dalam proses pembatalan. Adapun jumlah Perda yang dievalusi sejak 2001 hingga 2010 mencapai 9048 Perda. Dari jumlah itu, Kementerian Keuangan sudah merekomendasikan pembatalan atas 4885 Perda. Perda bermasalah tersebut menjadi salah satu faktor pembentuk iklim tidak kondusif. Hampir setiap hari disuarakan keluhan tentang iklim tidak kondusif sebagai penyebab stagnasi sektor riil dan rendahnya pertumbuhan investasi.

Selanjutnya, ada tiga alasan mengapa perlu melakukan pengharmonisasian Rancangan Peraturan Daerah yaknI : Pertama, Peraturan Daerah sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional. Sebagai suatu sub sistem dari sistem yang lebih besar, peraturan perundang-undangan harus ada saling keterkaitan dan saling ketergantungan serta merupakan satu kebulatan yang utuh dengan sub sistem yang lain. Alasan Kedua, adalah Peraturan Daerah dapat diuji baik oleh Mahkamah Agung (judicial review), maupun oleh Pemerintah (executif review) dalam hal ini Menteri Dalam Negeri. Berhubung dengan itu, pengharmonisasian Peraturan Daerah sangat strategis fungsinya sebagai upaya preventif mencegah pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat dan mencegah diajukannya permohonan pengujian kepada Mahkamah Agung. Dan alasan yang Ketiga, adalah untuk menjamin proses pembentukan Peraturan Daerah dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum.

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sebagai Pembina di Bidang Hukum dan HAM di Daerah

Kementerian Hukum dan HAM merupakan salah satu kementerian yang dibentuk guna membantu tugas-tugas Presiden (eksekutif) di dalam permasalahan-permasalahan yang menyangkut pelaksanaan tugas pemerintah di bidang hukum, dan juga menyangkut substansi dan sistem hukum serta perkembangannya. Perlu diketahui bahwa tugas-tugas Pemerintahan di bidang hukum mencakup peran yang sangat strategis untuk mengaktualisasikan fungsi hukum, menegakkan hukum, menciptakan budaya hukum, dan membentuk peraturan perundang-undangan yang adil, konsisten, tidak diskriminatif, tidak bias gender serta memperhatikan hak asasi manusia (Suhariyono: 2007). Kantor Wilayah sebagai perpanjangan tangan Kementerian Hukum dan HAM berperan sebagai pembina di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor. M.01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kaitannya dengan pembinaan di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut, Kantor Wilayah melaksanakan tugas harmonisasi dan sinkronisasi rancangan peraturan perundang-undangan di daerah.

Terkait dengan banyaknya pembatalan Peraturan Daerah (Tercatat per 29 Maret 2010, dari 1.024 Perda yang disampaikan untuk dievaluasi dari 33 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, 472 Perda diantaranya sudah dibatalkan), Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM ikut bertanggung jawab jika terjadi pembatalan Perda di daerah. Pernyataan tersebut dapat dipahami jika dikaitkan dengan Tugas dan Fungsi Kantor Wilayah di bidang pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia, tetapi tanggung jawab yang dimaksud oleh Menteri Hukum dan HAM tersebut tentu bukanlah tanggung jawab Kantor Wilayah secara langsung atas terjadinya pembatalan Perda melainkan pertanggungjawaban secara moral (Septyarto Priandono: 2011). Hal ini disebabkan posisi Kantor Wilayah di daerah memang bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah, tidak seperti posisi Kementerian Hukum dan HAM di pusat. Di tingkat pusat, Kementerian Hukum dan HAM memang bertugas mengkoordinasikan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan perundang-undangan yang berasal dari Presiden sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di daerah tidak memiliki fungsi koordinasi tersebut. Fungsi koordinasi dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah dilaksanakan oleh Biro/Bagian Hukum Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota (Septyarto Priandono: 2011).

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara sendiri, dalam Tahun 2011 telah melakukan harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah sebanyak 75 (tujuh puluh lima) buah yang berasal dari Kabupaten/Kota di Sumatera Utara serta keterlibatan dalam penyusunan Naskah Akademis Rancangan Peraturan Daerah sebanyak 8 (delapan) buah. Perlu diketahui dari 33 (tiga puluh tiga) Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara untuk Tahun 2011 baru 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang melakukan harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah-nya pada Kantor Wilayah padahal semua Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tersebut sudah menjalin kerjasama dengan penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama Antara Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia dengan Gubernur Sumatera Utara serta Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara dengan Bupati/Walikota se-Sumatera Utara Tentang Harmonisasi Perda. Perlu diketahui bahwa dari 33 (tiga puluh tiga) Kabupaten/Kota di Sumatera Utara baru baru 9 (sembilan) Kabupaten/Kota yang bersedia mengirimkan Ranperda-nya untuk diharmonisasikan. Jika dipersentasekan baru sekitar 30,3 % Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang mengharmonisasikan Ranperdanya pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara.

Peran Perancang Peraturan Perundang-undangan Dalam Pengharmonisasian Perda

Pasal 98 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa : (1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "Perancang Peraturan Perundang-undangan" adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan diatas mengandung makna bahwa peran perancang peraturan perundang-undangan yang bertugas pada Kantor Wilayah sangat dibutuhkan dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk Perda.

Adapun peran Perancang Peraturan Perundang-undangan yang berkedudukan di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM adalah sebagai berikut : (1) menentukan pilihan-pilihan (alternatif) yang dikehendaki oleh penentu kebijakan; (2) merumuskan substansi secara konsistens atau taat asas; (3) merumuskan substansi yang tidak menimbulkan penafsiran (ambigu); (4) merumuskan substansi yang adil, sepadan, atau tidak diskriminatif; (5) menjamin bahwa peraturan yang dirancang dapat dilaksanakan dengan mudah oleh pelaksana; (6) menjamin bahwa peraturan yang dirancang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya atau melanggar kepentingan umum; (7) menjamin bahwa peraturan yang dirancang dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh penentu kebijakan; (8) menjadi penengah dalam penyelesaian tumpang tindih kewenangan dan pengaturan dalam pembahasan di tingkat antardepartemen atau antarlembaga; dan (9) melakukan negosiasi atau pendekatan-pendekatan psikologis terhadap penentu kebijakan demi tercapainya tujuan yang diinginkan. (Bahan Kuliah Diklat Fungsional Perancang: Jakarta)

Peranan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM sebagai salah satu instansi vertikal di daerah sangat penting dalam proses penyusunan Perda, mengingat Kantor Wilayah Hukum dan HAM memiliki tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan yang berkompeten dibidangnya, bukan saja memberikan masukan secara substansi terhadap suatu Rancangan Perda, namun juga melakukan harmonisasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang hirarkinya lebih tinggi, sehingga inkonsistensi antara Perda dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya dapat diminimalisir.

(Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum/Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan, Perancang Pertama Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara)


Cetak   E-mail