EFEKTIFITAS PIDANA DENDA

Foto WacanaRudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum -
Pejabat Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumut

Dari aspek kebijakan hukum pidana, fenomena penggunaan pidana perampasan kemerdekaan (penjara) yang terkesan "boros", sudah barang tentu tidak sejalan dengan kecenderungan yang sedang melanda dunia internasional dewasa ini, yaitu untuk sejauh mungkin menghindari penjatuhan pidana penjara dengan menerapkan kebijakan selektif dan limitatif. Sebagai konsekuensinya diperlukan pengembangan lebih banyak jenis-jenis sanksi selain pidana penjara (non-custodial) dalam stelsel pidana yang ada di dalam KUHP. Dengan demikian wajar apabila pidana denda menjadi pusat perhatian baik itu digunakan sebagai pengganti pidana penjara pendek atau sebagai pidana yang berdiri sendiri, karena selain merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang bersifat non-custodial, juga dianggap tidak menimbulkan stigmatisasi serta secara ekonomis negara mendapat masukan berupa uang atau setidak-tidaknya menghemat biaya sosial dibandingkan dengan jenis pidana penjara.
Dalam perkembangan sanksi pidana di luar KUHP terdapat kecenderungan untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda namun kebijakan-kebijakan tersebut tidaklah dibarengi dengan kebijakan lain yang berhubungan dengan pelaksanaan pidana denda yang pelaksanaannya masih mengacu pada ketentuan dalam Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 30 KUHP, tidak ada batas waktu yang pasti kapan denda harus dibayar dan tidak ada pula ketentuan mengenai tindakan-tindakan yang dapat memaksa terpidana membayar dendanya misalnya dengan jalan merampas atau menyita harta benda atau kekayaan terpidana. Alternatif dalam KUHP apabila terpidana tidak mau/mampu membayar denda, hanyalah dengan mengenakan kurungan pengganti berkisar antara 6 (enam) bulan atau dapat menjadi paling lama 8 (delapan) bulan. Dalam hal yang bersangkutan melakukan tindak pidana yang dapat menghasilkan keuntungan materiil yang jumlahnya sampai berjuta-juta rupiah atau bahkan bermilyar-milyar rupiah (misalnya, korupsi, penyelundupan, atau perdagangan narkotika dan sebagainya), maka ini berarti yang bersangkutan tetap dapat menikmati hasil kejahatannya dengan tidak perlu khawatir harta benda atau kekayaannya (khususnya yang merupakan hasil kejahatan yang telah dilakukannya) akan dirampas atau disita.
Memang dalam hal ini Hakim dapat pula menjatuhkan pidana tambahan berupa pidana perampasan barang-barang tertentu, namun pidana tambahan ini menurut KUHP hanya bersifat fakultatif saja dan hanya dalam hal-hal tertentu yang bersifat imperatif. Lagi pula yang dapat dirampas hanyalah barang-barang yang diduga diperoleh dari hasil kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika sebagian besar narapidana lebih memilih menjalani pidana kurungan sebagai pengganti denda yang tidak dibayar karena KUHP memberi peluang kepada terpidana untuk menetapkan pilihannya antara membayar atau tidak. Jika karena alasan tidak mampu membayar, maka berlaku adagium Quinon potest solvere poenam in aere, luat in corpore (siapa tidak mampu membayar, maka ia harus melunasi dengan derita badan), yaitu pidana kurungan/penjara pengganti denda. Pemahaman demikian juga dihayati oleh masyarakat pada umumnya, sebagaimana tercermin dari adagium Quaelibet poena corporalis, quanvis minima, majorest quaelibet poena pecuniaria (bagaimanapun ringannya suatu pidana badan, akan lebih berat daripada pidana denda).
Dalam sejarah, sebenarnya usaha untuk mencari alternatif pidana penjara sudah sejak lama dilakukan dalam kerangka politik kriminal. Berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana pencabutan kemerdekaan (alternative to imprisonment) dalam bentuknya sebagai sanksi alternatif (alternative sanctions) tidak semata-mata didorong alasan kemanusiaan saja, tetapi juga atas dasar pertimbangan filosofis pemidanaan dan alasan-alasan ekonomi sehingga wajar apabila di dalam pembaharuan hukum pidana, upaya pencarian alternatif tersebut menempati posisi yang sentral dalam stelsel sanksi pidananya. Dari segi ekonomi, tidak disangkal lagi bahwa pelaksanaan pidana penjara bila dihitung dari biaya yang mesti dikeluarkan (social cost) begitu besar, karena dengan dipenjara seorang pelaku (terpidana) harus dibiayai dan harus disediakan fasilitas dalam proses pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan. Dan ini sering menimbulkan masalah keuangan bagi negara. Sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan (penjara), pidana denda apabila dijalankan secara efektif dapat menjadi salah satu solusi mengurangi over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan yang sekarang ini menyisakan banyak persoalan di samping kebijakan lainnya seperti pemberian remisi, pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat dengan tetap memperhatikan aspek rasa keadilan dalam masyarakat. Jika saja kebijakan dalam stetsel hukum pidana kita, dapat memaksa terpidana membayar denda, maka dapat mengurangi biaya sosial pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan yang jumlahnya sebagian besar adalah pelaku tindak pidana khusus (seperti narkotika, korupsi, perdagangan orang, illegal loging dan pencucian uang) yang dijatuhi pidana denda.
Meningkatnya penggunaan pidana denda di luar KUHP (undang-undang pidana khusus) dapat ditemukan antara lain pada: (a) UU No. 7 tahun 1992 jo. UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan; (b) UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; (c) UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek; (d) UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (e) UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta; (f) UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; (g) UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (h) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika; (i) UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang. Meningkatnya penggunaan pidana denda tersebut dapat dipahami bahwa strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakekat permasalahannya. Bila hakekat permasalahannya lebih dekat dengan masalah-masalah di bidang hukum perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan sanksi tindakan tata tertib dan/atau denda. Perkembangan pengaturan pidana denda dalam berbagai UU di luar KUHP memang patut diapresiasi, namun lagi-lagi tidak dibarengi dengan strategi kebijakan dalam penerapannya. Menarik untuk dikomentari misalnya ketentuan pidana denda dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur mengenai jumlah pidana denda yang harus dibayar oleh terpidana hingga mencapai 20 (dua puluh) milyar rupiah.
Ketentuan mengenai upaya paksa yang dapat dilakukan agar denda tersebut dibayar diatur dalam Pasal 148, yang berbunyi: "Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam UU ini tidak dibayar, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti denda yang tidak dapat dibayar". Dengan demikian terpidana dapat mempertimbangkan lebih baik menjalani pidana selama 2 (dua) tahun daripada membayar denda sebesar 20 (dua puluh) milyar rupiah, yang artinya negara harus mengeluarkan biaya selama 2 (dua) tahun untuk pembinaan terpidana dalam Lembaga Pemasyarakatan dan negara tentu tidak mendapatkan apa-apa secara ekonomi. Demikian juga UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 25 menyatakan: "Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun". Berbeda dengan UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 8 menyatakan: "Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan". Mencermati rumusan dalam ketiga UU tersebut, tampaknya belum seragam menunjukkan perubahan yang signifikan mengenai upaya paksa yang dapat dilakukan, kecuali lamanya ancaman pidana kurungan/penjara pengganti yang lebih tinggi dan denda yang diperbesar. Kebijakan upaya paksa dalam UU UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang perlu dipertimbangkan untuk diformulasi kembali dalam berbagai UU yang mengatur tentang pidana denda.
Pada akhirnya, dalam kerangka kebijakan operasionalisasi pidana denda perlu dikemukakan Pertama, bertolak pada sisi positif pidana denda diharapkan akan menjadi landasan kebijakan legislatif untuk lebih meningkatkan fungsi pidana denda sebagai sarana pemidanaan baik dalam kedudukannya sebagai jenis sanksi yang berdiri sendiri maupun sebagai jenis pidana pidana alternatif pidana penjara jangka pendek; Kedua, pemahaman yang mendalam terhadap kelemahan/keterbatasan daya guna pidana denda, diharapkan dapat menjadi signal sekaligus umpan balik yang harus dipertimbangkan untuk menyiasati strategi kebijakan operasional pidana denda agar lebih berfungsi atau bekerjanya lebih efektif dalam kenyataannya.

Cetak